Jakarta - Keputusan Majelis Hakim Pengadilan Tindak Pidana Korupsi yang menyatakan Thomas Trikasih Lembong bersalah dalam kasus dugaan korupsi impor gula memunculkan perdebatan tajam di kalangan akademisi, praktisi hukum, hingga publik yang mengikuti jalannya persidangan. Mantan Menteri Perdagangan tersebut dijatuhi hukuman 4 tahun dan 6 bulan penjara serta denda sebesar Rp750 juta subsidiair 6 bulan kurungan, atas tuduhan menyalahgunakan kewenangan dalam memberikan izin impor gula kepada perusahaan non-BUMN.
Namun, banyak pihak menilai bahwa putusan tersebut sarat kontroversi, bahkan tidak sepenuhnya mencerminkan prinsip-prinsip keadilan substantif dalam sistem peradilan pidana. Pasalnya, sepanjang proses persidangan, tidak ditemukan bukti yang secara langsung menunjukkan adanya motif atau keuntungan pribadi yang diperoleh oleh Tom Lembong dari kebijakan tersebut. Selain itu, fakta-fakta persidangan justru mengindikasikan bahwa kebijakan yang diambil merupakan bagian dari upaya menjaga stabilitas pasokan gula nasional dan mencegah gejolak harga di pasar domestik.
Dalam perspektif hukum administrasi negara, kebijakan seorang menteri tidak dapat serta-merta dikualifikasikan sebagai tindak pidana hanya karena terdapat perbedaan tafsir terhadap pelaksanaan wewenang. Penerbitan izin impor gula yang dilakukan oleh Lembong bukanlah keputusan pribadi yang bersifat sepihak, melainkan bagian dari dinamika kebijakan publik yang kompleks, termasuk tekanan terhadap ketahanan pangan dan respons terhadap dinamika pasar internasional. Ia bahkan telah menyampaikan argumentasi bahwa kebijakan tersebut dilakukan demi kepentingan nasional dan tidak bertentangan dengan substansi regulasi yang berlaku pada saat itu.
Lebih jauh, dakwaan yang menyatakan bahwa Lembong mengabaikan hasil rapat koordinasi dan rekomendasi kementerian lain perlu diuji kembali secara objektif. Tidak terdapat bukti konkret bahwa Lembong dengan sengaja mengesampingkan keputusan kolektif atau bertindak dalam kerangka konflik kepentingan. Fakta bahwa ia tidak merujuk secara eksplisit kepada BUMN dalam surat tugas impor tidak dapat dijadikan satu-satunya dasar untuk menyatakan bahwa tindakannya merupakan pelanggaran hukum. Apalagi, istilah “produsen gula nasional” dalam konteks kebijakan sering kali dimaknai secara fleksibel sesuai dengan kondisi industri saat itu.
Sementara itu, dalam pembelaannya, Lembong secara konsisten menyatakan bahwa dirinya hanya menjalankan peran sebagai pejabat negara yang bertindak dalam koridor kebijakan publik. Ia menolak dengan tegas tudingan bahwa keputusannya dilandasi niat jahat atau kepentingan pribadi. Bahkan, ia mengkritisi bahwa tuntutan jaksa cenderung mengabaikan konteks faktual dan administratif dari proses pengambilan keputusan di kementerian.
Kritik tajam pun datang dari pengamat hukum tata negara yang menilai bahwa vonis terhadap Lembong berisiko menciptakan preseden buruk dalam sistem pemerintahan. Jika setiap pejabat publik dapat dikriminalisasi hanya karena tafsir berbeda terhadap regulasi atau kebijakan, maka hal ini berpotensi membungkam inisiatif kebijakan dan menghambat pengambilan keputusan strategis di masa depan. Apalagi, pengambilan kebijakan di sektor ekonomi dan perdagangan sering kali memerlukan tindakan cepat, yang tidak selalu dapat menunggu proses birokratis formal yang panjang.
Dengan demikian, putusan yang menjerat Tom Lembong perlu dilihat secara lebih jernih, bukan semata-mata dalam kerangka hukum pidana, tetapi juga dari sudut pandang tata kelola pemerintahan dan konteks kebijakan publik. Upaya banding yang akan diajukan oleh tim kuasa hukum Lembong merupakan langkah konstitusional yang penting, tidak hanya untuk membela kepentingan pribadi kliennya, tetapi juga untuk menjaga prinsip akuntabilitas yang adil dalam demokrasi.
Apabila dalam proses banding nantinya ditemukan bahwa keputusan ini memang tidak memenuhi standar pembuktian yang ketat dan adil, maka sudah selayaknya pengadilan yang lebih tinggi memberikan koreksi atas kekeliruan yudisial tersebut. Sebab, keadilan yang sejati hanya akan terwujud jika hukum tidak digunakan sebagai alat pembenaran terhadap tafsir sempit, melainkan sebagai sarana untuk menegakkan kebenaran substantif dan melindungi kehormatan pejabat yang bertindak demi kepentingan negara.